Darah Rakyat di Aspal Jakarta: PMII Palangka Raya Desak Kapolri Tindak Tegas Pelaku Penabrakan Ojol
Inews Sampit– Tragedi maut yang menimpa seorang driver ojek online (ojol) di Jakarta telah menyebarkan gelombang duka dan kemarahan hingga ke pelosok Nusantara. Insiden dimana seorang aparat kepolisian diduga menabrak pengemudi ojol hingga tewas dalam aksi unjuk rasa bukan lagi sekadar berita kriminal biasa, melainkan luka kolektif yang mengingatkan kembali pada hubungan rentan antara negara dan rakyatnya.
Dari jantung Kalimantan Tengah, suara protes keras bergema. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Palangka Raya menyuarakan amarah dan tuntutan keadilan, menolak melihat tragedi ini tenggelam dalam rutinitas berita dan impunitas (kekebalan hukum) yang kerap menyelimuti kasus kekerasan aparat.
Muhammad Nasir, anggota bidang Kaderisasi PMII Cabang Kota Palangka Raya, dalam keterangan resminya pada Jumat (29/8), menyampaikan sikap yang tegas dan berprinsip. Bagi Nasir dan organisasinya, peristiwa ini adalah sebuah “tragedi kemanusiaan” yang menyibak wajah represif negara.
“Tidak ada alasan apapun yang bisa membenarkan tindakan brutal, apalagi sampai merenggut nyawa rakyat kecil yang sedang memperjuangkan haknya. Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga soal nurani dan kemanusiaan,” tegas Nasir, menyiratkan bahwa kasus ini telah melampaui batas procedural dan masuk ke dalam ranah moral bangsa.
Negara yang Berpaling, Aparat yang Menjadi Ancaman
Nasir melihat ironi pahit dalam tragedi ini. Aparat kepolisian yang dalam ideologi negara berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat (Tri Brata), justru dianggap berubah menjadi “ancaman nyata bagi keselamatan warga sipil.” Pergeseran peran fundamental ini, baginya, adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam dalam tubuh penegak hukum.

Baca Juga: Di Tengah Latihan Intensif, Atlet Panahan Kalteng Bidik Kebangkitan 2025
Ia mengingatkan bahwa konstitusi, yakni UUD 1945, telah menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Namun, jaminan konstitusi itu terasa seperti ilusi ketika di lapangan, yang terjadi adalah pengedepankan kekerasan dan pendekatan represif, alih-alih dialog humanis.
“Negara seharusnya hadir untuk rakyat, bukan malah menakut-nakuti dan menindas. Bila aparat dibiarkan terus bertindak brutal, maka yang hancur adalah kepercayaan rakyat terhadap negara,” ujarnya. Pernyataan ini menyentuh inti dari kontrak sosial antara pemerintah dan yang diperintah—kepercayaan.一旦 kepercayaan ini rusak, yang tersisa adalah rasa takut dan permusuhan.
Tuntutan Konkret: Hukum Transparan dan Evaluasi Menyeluruh
Lebih dari sekadar kecaman, PMII Palangka Raya melalui Muhammad Nasir melayangkan sejumlah tuntutan konkret yang ditujukan langsung kepada pucuk pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pertama, desakan kepada Kapolri untuk bertindak tegas dan mengusut tuntas kasus ini secara transparan. Nasir menekankan bahwa proses hukum tidak boleh ditutupi oleh dalih kedinasan atau solidaritas korps yang semu. “Jangan ada lagi upaya melindungi aparat bersalah dengan dalih kedinasan. Pelaku harus segera ditangkap dan diadili seterang-terangnya,” serunya. Tuntutan ini adalah respons langsung terhadap trauma kolektif masyarakat akan banyaknya kasus kekerasan aparat di masa lalu yang berakhir tanpa kejelasan.
Kedua, ia mendorong dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap tubuh kepolisian. Bagi Nasir, insiden ini bukanlah kejadian yang terisolasi, melainkan bagian dari pola yang berulang. “Selama ini kekerasan aparat selalu berulang. Hari ini driver ojol, besok bisa jadi siapa saja. Kalau pola represif ini dibiarkan, rakyat akan selalu menjadi korban.”
Evaluasi yang dimaksud bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga substansial. Aparat, menurutnya, harus dibekali dengan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) yang kuat dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berorientasi pada perlindungan dan de-eskalasi, bukan pembubaran paksa dengan segala cara.
Eko Sistem Ketakutan dan Suara dari Pinggiran
Fakta bahwa suara protes ini datang dari Palangka Raya, bukan Jakarta, memberikan dimensi tambahan yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa tragedi tersebut telah dipersepsikan bukan sebagai konflik lokal ibu kota, melainkan sebagai simbol dari masalah nasional. Jika ketidakadilan bisa terjadi di pusat kekuasaan, ia bisa terjadi di mana saja.
Seruan Nasir mewakili suara mereka yang berada di “pinggiran” yang khawatir bahwa “ekosistem ketakutan” yang sama dapat merambah ke daerah mereka. Solidaritas ini memperkuat narasi bahwa keselamatan warga sipil dari kekerasan negara adalah concern bersama seluruh elemen bangsa.
Seruan untuk Bersatu dan Mengawal Keasadilan
Menutup pernyataan sikapnya, Muhammad Nasir mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersatu dan tidak diam. Ia menyerukan pentingnya pengawasan publik terhadap proses hukum kasus ini. “Kita tidak boleh diam. Darah rakyat sudah tumpah, dan kita wajib terus bersuara sampai keadilan ditegakkan,” tandasnya.
Keyakinannya bahwa suara publik adalah kunci untuk mencegah impunitas mencerminkan prinsip demokrasi yang sehat, dimana masyarakat bukanlah objek pasif, tetapi pihak yang aktif mengawal jalannya negara.
Dengan sikap tegas PMII Palangka Raya ini, mereka berharap agar tragedi memilukan ini tidak sia-sia. Darah yang tumpah harus menjadi momentum koreksi besar-besaran bagi institusi kepolisian dan pemerintah secara keseluruhan. Tujuannya satu: mengembalikan fungsi negara pada esensinya yang paling hakiki, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, mengayomi, dan melayani rakyatnya dengan penuh integritas dan rasa kemanusiaan.
Tanpa itu, kata mereka, kepercayaan—pondasi paling dasar dari sebuah negara—akan terus terkikis, dan yang tersisa hanyalah kenangan pahit tentang negara yang lupa pada rakyatnya.















