Warga Adat Dayak Gugat Anak Usaha Sinar Mas Rp5 Triliun, Tuntut Keadilan di PN SampitInew
Inews Sampit- Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Sampit, Senin (21/10), mendadak menjadi sorotan publik. Sembilan warga adat Dayak yang dipimpin oleh tokoh adat bernama Musi, resmi menggugat PT Tapian Nadenggan, salah satu anak perusahaan raksasa Sinar Mas Grup, dengan nilai gugatan fantastis mencapai Rp5 triliun.
Sidang perdana perkara ini berlangsung dengan cukup tegang. Di sisi penggugat, hadir kuasa hukum Sapriyadi, S.H., yang mewakili masyarakat adat Dayak. Namun, pihak tergugat dari perusahaan tak terlihat hadir di ruang sidang, sehingga jalannya persidangan hanya diikuti oleh pihak penggugat.
Diduga Serobot 179 Hektare Tanah Adat
Dalam gugatan yang diajukan, masyarakat adat menuduh perusahaan telah menggarap sekitar 179 hektare tanah adat di kawasan Hulu Sungai Paken, wilayah yang dulu masuk dalam Desa Sebabi dan kini menjadi bagian dari Desa Pantap, Kecamatan Mentaya Hulu, sejak tahun 2005–2006.
Menurut Sapriyadi, lahan yang digarap perusahaan itu berada di luar wilayah Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang dimiliki PT Tapian Nadenggan.
“Tanah adat tersebut jelas bukan milik perusahaan. Warga memiliki hak adat berdasarkan Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960,” tegasnya usai sidang.
Ia menjelaskan, masyarakat telah memiliki surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah yang memperkuat klaim mereka atas kepemilikan lahan tersebut. Bukti-bukti itu, menurutnya, akan diserahkan sepenuhnya kepada majelis hakim untuk dipertimbangkan.

Baca Juga : Kodim 1015/Sampit Gelar Kegiatan KB Kesehatan 2025, Wujud Nyata Sinergi TNI dan Pemerintah
Harapan Masyarakat Adat: Keadilan dan Pengakuan
Bagi masyarakat adat Dayak, langkah hukum ini bukan semata menuntut ganti rugi materiil dan moril. Lebih dari itu, gugatan ini dianggap sebagai simbol perjuangan panjang untuk mempertahankan hak leluhur dan eksistensi tanah adat yang selama ini mereka jaga turun-temurun.
“Kami tidak mencari sensasi. Kami hanya menuntut keadilan atas tanah nenek moyang kami yang diambil tanpa izin. Sudah hampir dua puluh tahun kami menunggu kepastian, tapi belum juga ada kejelasan,” ujar Musi dengan nada tegas.
Sapriyadi menambahkan, pihaknya berharap perusahaan hadir pada sidang berikutnya agar proses hukum dapat berjalan transparan dan berimbang. Ia juga meminta agar tidak ada intimidasi atau kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan haknya secara sah di pengadilan.
Respons Pihak Berwenang dan Perusahaan
Menurut informasi, para penggugat juga telah melaporkan kasus ini kepada pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan lembaga adat setempat, namun hingga kini belum ada langkah penyelesaian konkret di luar pengadilan.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, PT Tapian Nadenggan maupun Sinar Mas Grup belum memberikan tanggapan resmi atas gugatan senilai Rp5 triliun tersebut.
Kasus ini diperkirakan akan menjadi ujian besar bagi perlindungan hukum masyarakat adat di Kalimantan Tengah, sekaligus membuka kembali perdebatan tentang batas antara konsesi perusahaan besar dan wilayah adat yang telah ada jauh sebelum izin usaha diterbitkan.
Sidang Lanjutan
PN Sampit dijadwalkan akan menggelar sidang lanjutan dalam waktu dekat. Hakim akan memeriksa kelengkapan berkas gugatan dan memanggil kembali pihak tergugat untuk hadir.
Bagi masyarakat adat Dayak di Mentaya Hulu, perkara ini menjadi lebih dari sekadar perselisihan lahan — ini adalah perjuangan mempertahankan jati diri dan hak leluhur di tengah gempuran investasi besar di tanah Kalimantan.
“Kami tidak menolak pembangunan, tapi jangan sampai hak adat kami terhapus begitu saja,” tutup Musi.















